Sabtu, 11 Juni 2011

TINJAUAN KELAYAKAN WELFARE STATE BERDASARKAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Dewasa ini seiring dengan bertambahnya kebutuhan hidup masyarakat dan kebijakan berbagai negara dalam mensejahterakan rakyatnya, para pembuat kebijakan serta elit politik semakin disodorkan dengan berbagai persoalan-persoalan baru yang tidak kunjung menemukan solusi, terutama jika berhubungan dengan sistem perekonomiannya.
Mereka yang didukung oleh para pakar ekonomi cenderung mengacu pada konsep Welfare State atau negara kesejahteraan yang merupakan bunga dari sistem ekonomi kapitalis dan sistem pemerintahan demokrasi. Berharap mendapatkan solusi dari konsep tersebut, namun yang terjadi adalah modifikasi di sana-sini yang berujung pada terbengkalainya urusan rakyat. Sehingga rakyat semakin merasa terabaikan oleh pemerintahannya sendiri, berawal dari sini masyarakat menginginkan penyelesaian yang menyeluruh, praktis, dan manusiawi.
Ditengah – tengah semakin menurunnya neraca ekonomi di negara -negara pengusung konsep Welfare State yang cenderung diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem ekonomi yang sama, muncullah gagasan agar diterapkannya kembali Sistem Ekonomi Islam yang terbukti selama berabad - abad telah menyejahterakan rakyatnya yang bersumber dari ideologi Islam dan digali dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

1.2       Tujuan
Tujuan ditulisnya makalah ini adalah:
a.         Untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Sistem Ekomomi Islam STIS SBI Surabaya.
b.        Sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan para pembaca, Khususnya mahasiswa STIS SBI Surabaya
c.         Memberikan motivasi kepada pembaca untuk menerapkan Sistem Ekonomi berdasarkan ajaran Islam sebagai konsekuensi keimanan kita.
1.3       Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
a.       Apakah welfare state dan bagaimana penerapannya diberbagai negara?
b.      Bagaimana Islam mengatur ekonomi suatu negara?
c.       Layakkah kita memperjuangkan konsep welfare state?
d.      Apakah solusi untuk membuat manusia sejahtera?




BAB II
DASAR PEMIKIRAN

2.1         Welfare State
2.1.1        Pengertian Welfare State
Welfare state atau negara kesejahteraan adalah negara yang pemerintahannya menjamin terselenggaranya kesejahteraan rakyat. Dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya harus didasarkan pada lima pilar kenegaraan, yaitu:
a.       Demokrasi (Democracy).
b.      Penegakan Hukum (Rule of Law).
c.       Perlindungan Hak Asasi Manusia.
d.      Keadilan Sosial (Social Juctice)
e.       Anti diskriminasi.
2.1.2        Langkah – Langkah Welfare State Dalam Wewujudkan Kesejahteraan Rakyat
Kebanyakan para ekonom dalam merealisasikan konsep welfare state merujuk pada langkah-langkah Kim Dae Jung, mantan presiden Korsel (1996-2001). Karena dinilai paling ideal jika diterapkan pada keadaan sekarang. Langkah-langkah itu antara lain:
a.       Menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa, dipercaya dan takut melanggar perintah Tuhan (good governance).
b.      Menegakkan hukum dan memberantas KKN.
c.       Menanam kelapa sawit sebagai keunggulan ekonomi.
d.      Memperbaiki sistem pendidikan.
2.1.3        Model Penerapan Welfare State di Berbagai Negara
Menurut Edi Suharto(2006), sistem kesejahteraan negara tidaklah homogen dan statis. Ia beragam dan dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan peradaban. Meski beresiko menyederhanakan keragaman, sedikitnya ada empat model kesejahteraan negara yang hingga kini masih beroperasi:
a.    Model Universal
Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian Welfare States yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Sebagai contoh, kesejahteraan negara di Swedia sering dijadikan rujukan sebagai model ideal yang memberikan pelayanan sosial komprehensif kepada seluruh penduduknya. Kesejahteraan negara di Swedia sering dipandang sebagai model yang paling berkembang dan lebih maju daripada model di Inggris, AS dan Australia.
b.    Model Koorporasi
Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianut oleh Jerman dan Austria ini sering disebut sebagai Model Bismarck.
c.    Model Residual
Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien.
d.   Model Minimal
Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol, Italia, Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka, Indonesia). Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. Di lihat dari landasan konstitusional seperti UUD 1945, UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang masih kecil, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai penganut kesejahteraan negara model ini.

2.2         Sistem Ekonomi Islam (SEI)
2.2.1        Pengertian Sistem Ekonomi Islam
Sistem Ekonomi Islam adalah manifestasi dari ajaran islam yang termuat dalam al-Quran dan as-Sunnah sebagai salah satu wujud ibadah kepada Allah SWT dalam bentuk mu’amalah, maka hukun-hukum dalam praktek perekonomian didasarkan pada kedua sumber tersebut. Karena dalam pandangan Islam, prinsip utama dalam kehidupan umat manusia adalah Allah SWT. Ialah Tuhan Pencipta Alam sekaligus Pemilik, Penguasa serta Pemelihara Tunggal hidup dan kehidupan seluruh makhluk. Ia adalah Shubbuhun dan Quddhusun yakni bebas dari segala kekurangan, kesalahan, kelemahan, dan berbagai kekurangan lainnya, serta suci dan bersih dalam segala hal.
Sistem ini telah dipraktekkan langsung oleh Rasulullah SAW dan para penggantinya. Atas dasar pemikiran diatas, terdapat tiga kaedah dasar yang menyusun sistem ini, antara lain:
a.       Kememilikan (al-Milkiyah). Yang terdiri atas: kememilikan individu, kolektif, dan negara.
b.      Pengelolaan (tasharruf) kepemilikan.
c.       Distribusi kekayaan (tauziuts tsarwah) di tengah manusia.
Dalam hal pembiayaan negara, pemerintah mendirikan lembaga Baitul Mal, sekaligus bertugas untuk mengatur distribusi kekayaan di tengah manusia.
Menurut Ibn Taimiyah sebelum masalah atau lembaga ekonomi ditegakkan, maka spririt dasar kehidupan bermasyarakat harus dibersihkan, singkatnya, memperbaiki tauhid atau pengabdian kepada Allah SWT. Ukuran bahwa sebuah masyarakat menjunjung pengabdian kepada Allah SWT dimanifestasikan kepada larangan untuk menampilkan secara publik apa yang dilarang dan mendorong ditamplikannya secara publik apa yang diperintahkan.
Larangan dan dorongan atau cinta dan benci di dalam Islam membawa kehidupan umum lebih baik karena akan mengendorkan perilaku menyimpang yang berbasis ambisi pribadi atau golongan dan bukan ikhlas. Menegakkan moralitas umum yang bertujuan memperkuat yang ma’ruf dan menghilangkan yang munkar dari panggung publik.
2.2.2        Pokok - Pokok Ekonomi Islam
Secara teknis dari ekonomi islam direkonstruksi oleh Ibnu Taimiyah yang ringkas oleh Akram Khan, kedalam tujuh pokok yang juga menjadi pertanyaan dalam ekonomi modern(kapitalis). Antara lain:
a.       Mengelola Keseimbangan
Pasar tidak dibiarkan bekerja secara sendirinya, akan tetapi perlu manajemen pemerintah untuk merekayasa perubahan kepada keadaan yang dikehendaki lebih baik.
b.      Mengatur Pasokan
Negara melalui lembaga hisbah harus memastikan bahwa tidak ada industri yang haram. Bahan pokok khususnya bahan makanan harus tersedia dengn harga yang terjangkau. Para penimbun dapat diberi sanksi karena dapat diartikan mendholimi masyarakat. Persekongkolan yang bertujuan monopoli dan menguasai masyarakat dengan memainkan harga dilarang. Hambatan terhadap masuknya pemain baru harus dihilangkan. Dilarang menghambat informasi harga, digambarkan dalam hadist sebagai menjemput barang dagangan ke desa, sebelum orang desa sampai di pasar dan mengetahui harga yang terjadi. Harus dilakukan perlindungan terhadap pemain kecil, misalnya larangan dumping harga yang mematikan pemain kecil yang bertujuan monopoli.
c.       Kontrol Harga
Dalam kasus terjadinya monopoli Ibn Taimiyah dengan mengutip imam Ahmad mengijinkan adanya kontrol harga atau penetapan standar harga. Hal ini dilakukan karena jika terjadi monopoli baik dalam pembelian mupn penjualan dikhawatirkan terjadi perbuatan zalim kepada masyarakat.
d.      Struktur Kredit
Negara melalui hisbah bertugas menghilangkan unsur riba dalam berbagai transaksi, khususnya jual beli yang tidak tunai. Karena riba merupakan sistem yang bersifat mengekploitir masyarakat.
e.       Hak Milik
Di dalam Islam hak pemilikan pribadi dihormati, namun tidak secara mutlak. Jika publik memerlukan, dan anggaran pemerintah (yang bersih dan jujur) tidah mencukupi, pemerintah berhak meminta warga yang mampu untuk mengadakan pasokan air, api (pistrik), pengelolaan sampah dan sebagainya. Privatisasi barang – barang vital tidak dapat dibenarkan seperti pengadaan air, api (listrik), jalan raya, pasar, tempat penggembalaan dan sebagainya.
f.       Pemanfaatan Sumber Daya Manusia
Bekerja keras dalam takaran yang wajar merupakan salah satu pilar ajaran Islam. Umat Islam juga dilarang berlaku kikir dan berlaku boros. Ajaran ajaran ini jika direkonstruksi akan membentuk sebuah budaya kerja keras. Budaya malas, misalnya pengemis, secara ketat diawasi oleh lembaga hisbah, tetapi pada saat yang sama, diberikan tunjangan kemiskinan, melalui zakat dan shadaqah yang dikumpulkan oleh negara. Lembaga hisbah berhak memaksa orang kaya untuk terlibat dalam masalah tersebut.
g.      Efisiensi di Sektor Publik
Pemerintah memungut sejumlah uang dan dikembalikan lagi kedalam masyarakat, ekonomi makin meningkat. Efektifiatas belanja pemerintah tersebut sangat tergantung dari kebersihan aparat pemerintah dalam menjalankan amanat keuangan publik. Lembaga hisbah juga bertanggung jawab untuk mengawasi aparat pemerintah untuk berlaku bersih.

BAB III
PEMBAHASAN

Untuk mengkaji kelayakan welfare state untuk direalisasikan dan diteruskan penerapannya, setidaknya ada dua unsur yang sangat mempengaruhi, tentunya tidak lepas dari sudut pandang Islam. Antara lain:

3.1 Welfare State dan Ideologi yang Berkaitan
Pembahasan tentang ekonomi tidak bisa dilepaskan dari suatu pandangan hidup atau ideologi tertentu yang dianut oleh negara dimana sistem itu diterapkan. Suatu ideologi tentunya memiliki kekurangan dan kelebihan, apalagi jika ideologi tersebut murni berasal dari pemikiran manusia, kebenaran akan menjadi relatif tergantung seberapa besar pengaruh kelompok atau individu yang berkepentingan didalamnya. Yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu kesenjangan dan permasalahan tersendiri yang menuntut pemecahan yang praktis dan menyeluruh. Keadaan seperti inilah yang terjadi pada ideologi kapitalis.
Kapitalis ialah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untung kepentingan-kepentingan pribadi. Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas.
Ketidakadilan kapitalis serta definisi yang kebenarannya relatif inilah yang memotori munculnya konsep welfare state dengan pilar-pilar dan langkah-langkah tersebut diatas yang menghendaki pemerataan kesejahteraan disuatu negara, sebagai bahan penambal kekurangan kapitalis dan penutup kebobrokan ideologi ini sendiri. Bagaimana tidak, kapitalis adalah paham yang bisa dipahami secara parsial dan sepihak, sesuai kepentingan siapa yang berkuasa, sedangkan demokrasi yang ditempatkan pada pilar pertama welfare state merupakan alat berkuasa suatu kelompok tertentu dalam tatanan paham kapitalis sendiri.
Sangat berbeda dengan Sistem Ekonomi Islam yang didasarkan pada ideologi islam, dimana ridlo Allah SWT adalah titik kepuasan. dimana semua lapis masyarakat telah dipersatukan dalam satu sistem tunggal yang tidak bisa ditunggangi oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Sehingga  hukum-hukum (termasuk hukum ekonomi) yang digali merupakan keputusan yang dapat diterima bersama dan tidak ada yang merasa terdzolimi.

3.2 Welfare State dan Tingkat Pendapatan Negara
Sebagaimana yang disebutkan pada bab sebelumnya bahwa terdapat perbedaan model penerapan welfare state di negara-negara yang berbeda pula. Hal ini membuka fakta bahwa hanya negara dengan pendapatan perkapita tertinggilah yang bisa merealisasikan konsep ini secara menyeluruh. Sehingga negara-negara yang masih tertinggal harus menunggu lama sampai pendapatan perkapita negara mereka menyamai negara yang sudah maju saat ini.
Program welfare diperkenalkan di AS pada tahun 1930an dan baru mencapi perkembangan signifikan pada pertengahan abad 20. Pendapatan perkapita di AS sekarang sekitar 30 ribu dolar. Nilai ini sama dengan sekitar 30 kali lipat pendapatan perkapita tertinggi kita. jika sejarah berjalan linear. Akan tetapi, krisis kemungkinan berulang setiap tiga puluh tahun. Dan, pendapatan negara sedang berkembang akan menjadi merosot setelah krisis.
Perbedaan geografis dan terpenjaranya manusia dalam sekat – sekat negara tidak luput menyumbangkan kesulitan dalam meratanya kesejahteraan, belum lagi hukum dalam birokrasi yang sangat berbeda antar satu sama lain.
Islam bersifat universal dan tidak bisa dibedakan berdasarkan tempat tinggal pemeluknya. Sehingga negara khilafah menerapkan satu hukum yang sama untuk semua pemeluknya dalam semua aspek kehidupan sesuai al-Quran dan as-Sunnah. Hal ini akan menjadikan selangkah lebih mudah untuk mengakomodasi masyarakatnya dan memudahkan distribusi kekayaan.
Negara Islam tidak akan pernah mencapai pendapatan tinggi untuk memulai program welfare. Sulit menduga berapa pendapatan perkapita pada masa Nabi SAW sampai masa khalifah Umar, ketika negara kesejahteraan mulai dirintis. Spirit Islam dan ajaran zakat mendorong program welfare dapat dimulai sejak awal. Dapat dikatakan bahwa zakat menempati peranan penting dalam mewujudkan kesejahteraan yang adil dan manusiawi. Dimana golongan mustahiq mendapatkan jaminan hidup dan termotivasi bekerja dengan harapan menjadi kaya dan bisa beralih posisi menjadi tangan diatas. Disamping tidak mengurangi hak sedikitpun dari apa yang diupayakan oleh muzaki dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak akan merasa terdzolimi.
 karena negara muslim dewasa ini ditempatkan sebagai pelengkap dan pinggiran dalam konteks kapitalisme internasional dewasa ini. Percepatan yang ditunjukkan oleh Islam tersebut baru dalam bentuk pencapaian materi, sedang pencapaian spiritual seperti ketenangan yang muncul di ruang publik, kehidupan saling percaya, persahabatan yang menonjol di ruang publik tak bisa dinilai dengan kekayaan materi.





BAB IV
KESIMPULAN DAN PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ajaran Islam di atas hanya akan berbobot dilaksankan jika bisa mencapai kekuasaan politik. Pentingnya kekuasaan politik terlihat dari bagian ke delapan dari zakat yaitu untuk keperluan fii sabilillah. Tujuan kekuasaan politik di dalam Islam adalah terwujudnya kesejahteraan (welfare ) yang universal.
Sedangkan konsep welfare state yang ada saat ini merupakan turunan dari sistem kapitalis yang dirasakan tidak adil oleh sekelompok masyarakat tertentu, meskipun kesejahteraan materi telah mereka raih tidak akan menyelesaikan masalah karena kebutuhan manusia dalam paham kapitalis tidak memiliki ukuran yang baku dan kebenarannya bersifat parsial, sepihak, dan relatif.
Dari pemikiran itu pula, mempertahankan konsep welfare ala kapitalis merupakan hal yang sia-sia karena tidak akan menyelesaikan persoalan secara menyeluruh yang berakibat pada terbengkalainya kepentingan masyarakat sebagaimana yang terjadi pada negara – negara demokrasi.

4.2 Penutup
            Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi menuju perbaikan dan mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah manusia.